Posted in

Kontribusi OTT Dinilai Masih Kurang, Apjatel Sarankan Keseimbangan dengan Beban Infrastruktur

Jakarta – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menilai layanan Over The Top (OTT) seperti Google, Netflix, Facebook, TikTok, dan WhatsApp di Indonesia mesti ditata pemerintah.

Hal yang dimaksud adalah lalu lintas data masif dari OTT belum seimbang dengan kontribusi yang sepadan terhadap beban infrastruktur yang digunakan layanan tersebut.

“Kami tidak pernah mengusulkan pembatasan layanan, apalagi membatasi akses publik terhadap internet. Kami dorong adalah keadilan dalam penggunaan infrastruktur agar keberlanjutan investasi jaringan tetap terjaga di tengah lonjakan trafik yang didorong oleh OTT global,” kata Ketua Umum (Ketum) Apjatel, Jerry Mangasas Swandy.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), khususnya Pasal 15 ayat (6) memberikan dasar hukum kepada penyelenggara jaringan untuk melakukan pengelolaan trafik demi kualitas layanan dan kepentingan nasional.

Ketentuan ini juga diperkuat Pasal 11 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 5 Tahun 2021.

“Norma hukum sudah jelas, yang kami minta hanyalah agar regulasi yang ada dijalankan secara konsisten. Jangan sampai penyelenggara jaringan terus menanggung beban dan akhirnya tidak bisa memberikan layanan seperti sekarang ini, karena pelaku OTT terus tumbuh tanpa kewajiban yang proporsional sehingga pembangunan jaringan tidak bisa keep up,” ucapnya.

Pengaturan kontribusi OTT ini sudah diatur Korea Selatan (Korsel) yakni kewajiban OTT untuk menjaga kualitas layanan ke masyarakat.

Kemudian, OTT wajib memberikan kontribusi kepada penyelenggara jaringan agar kapasitas jaringan operator dapat menampung seluruh trafik OTT. Hal ini tertuang dalam Amandemen UU bisnis telekomunikasi korea sejak tahun 2020.

“Korea itu udah berhasil ngatur OTT, kita bisa mencontoh kasus operator telekomunikasi di Korea lawan Netflix, memang perjuangan dan keberpihakan pemerintah terhadap industri nasionalnya luar biasa,” ucapnya.

Apjatel meneruskan trafik OTT mendominasi kapasitas jaringan, tapi tanpa mekanisme berbagi tanggung jawab yang adil. Sebab, hal ini berisiko melemahkan ketahanan dan ketersediaan jaringan di masa depan.

Jika pemerintah hanya membiarkan OTT mengeksploitasi trafik di Indonesia tanpa kontribusi maka operator telekomunikasi tidak dapat mengimbangi penyediaan kapasitas trafik di Indonesia yang berdampak penurunan kualitas layanan tersebut.

“Ini sekarang operator berdarah-darah membangun jaringan untuk menyediakan kapasitas besar untuk melayani trafik OTT keluar negeri, tapi karena kebutuhan masyarakat tinggi dan kapasitas kita juga terbatas maka perlu cost lebih,” tuturnya.

“Nah, di sisi ini OTT kontribusi ke operator, jadi nggak ada yang dibebani ke masyarakat, justru dengan begini masyarakat tetap bisa menikmati layanan tanpa ada perubahan apa apa jadi win win solution kan.”

Jerry Mangasas Swandy menyampaikan pernyataan Menkomdigi mengatakan perihal OTT belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan.

Selain itu tidak menjadi bagian dari agenda resmi kementerian merupakan pernyataan yang tidak tepat akibat bukan hanya sudah pernah dibahas, tapi sudah ada aturannya mengenai OTT.

“Mengenai OTT ini sudah sering sekali kami bahas bersama Komdigi, dan bahkan pengaturan OTT ini sudah menjadi concern Kemenko Polkam juga, tapi belum ada tindak lanjut lagi dari Komdigi akan seperti apa, jadi nggak pas juga Bu Menteri bilang seperti itu,” ucapnya.

Apjatel menilai penataan ekosistem OTT merupakan bagian penting dari strategi digital nasional, terutama di tengah upaya perluasan jaringan ke wilayah tertinggal dan penguatan transformasi digital nasional.

“Kami butuh kepastian bahwa pelaku global yang menikmati keuntungan dari infrastruktur Indonesia juga turut menjaga keberlangsungannya. Prinsip same service, same rules perlu ditegakkan,” ucapnya. (adm)

Sumber: detik.com